Fiqih : Wanita Iddah – Wanita iddah adalah wanita yang berpisah dengan suaminya karena ditalak atau ditinggal mati. Dalam bahasa Arab disebut mu’taddah atau wanita yang sedang menjalani masa iddah. Ada tiga jenis wanita iddah yaitu iddah karena talak raj’i, talak ba’in, dan karena ditinggal mati suaminya. Ketiganya memiliki konsekuensi hukum yang berbeda-beda.
Nama kitab: Terjemah Kitab Fathul Qarib
Judul kitab asal: Fathul Qarib Al-Mujib fi Syarhi Alfazh Al-Taqrib atau Al-Qawl Al-Mukhtar fi Syarh Ghayatil Ikhtishar (فتح القريب المجيب في شرح ألفاظ التقريب أو القول المختار في شرح غاية الإختصا)
Pengarang: Abu Abdillah Muhammad bin Qasim bin Muhammad Al-Ghazi ibn Al-Gharabili
Bidang studi: Fiqih madzhab Syafi’i
Pasal Perempuan Iddah
Pasal Wanita yang menjalankan ‘iddah dan hukum-hukumnya.
- Wanita Talak Raj’i
Bagi wanita yang menjalankan ‘’iddah talak raj’i maka wajib menetap di rumah yang menjadi tempat saat ia tertalak jika memang layak baginya.
Dan wajib diberi nafkah dan pakaian kecuali ia nusuz sebelum tertalak atau di tengah-tengah pelaksaan ‘iddah.
Sebagaimana wajib diberi nafkah, ia juga wajib diberi kebutuhan hidup yang lain kecuali alat membersihkan badan.
Wanita Talak Ba’in
Bagi wanita yang tertalak ba’in wajib diberi tempat tinggal tidak wajib diberi nafkah kecuali ia dalam keadaan hamil.
Maka wajib memberi nafkah padanya sebab kehamilan menurut pendapat ash shahih.
Ada yang mengatakan sesungguhnya nafkah itu untuk kandungan.
Wanita Yang Ditinggal Mati Suami
Wajib bagi mu’taddah mutawaffa ‘anha zaujuha untuk melakukan ihdad.
Ihdad secara bahasa diambil dari lafadz “al had”. Al had adalah bermakna mencegah.
Ihdad secara syara’ adalah mencegah diri dari berhias dengan tidak memakai pakaian yang diwarna dengan warna yang ditujukan untuk berhias seperti pakaian yang berwarna kuning atau merah.
Hukumnya mubah memakai pakaian yang tidak berwarna dari bahan kapas, bulu, katun, sutra ulat, dan pakaian berwarna yang tidak ditujukan untuk berhias.
Dan mencegah diri dari wewangian, maksudnya menggunakan wewangian di badan, pakaian, makanan, atau celak yang tidak diharamkan.
Adapun celak yang diharamkan seperti bercelak dengan itsmid yang tidak berbau wangi, maka hukumnya haram -ditinjau dari barangnya-.
Kecuali karena ada hajat seperti sakit mata, maka diperkenankan menggunakannya bagi wanita yang sedang ‘iddah.
Walaupun demikian, namun dia harus menggunakannya di malam hari dan membersihkannya di siang hari kecuali ada keadaan darurat yang menuntut untuk memakainya di siang hari.
Bagi seorang wanita -selain istri yang ditinggal- diperkenankan melakukan ihdad atas kematian selain suaminya, baik kerabat atau lelaki lain selama tiga hari atau kurang.
Maka bagi dia haram melakukan ihdad lebih dari tiga hari jika memang sengaja untuk ihdad.
Sehingga, jika ia melakukannya lebih dari tiga hari tanpa ada tujuan untuk melakukan ihdad, maka hal itu tidaklah haram.
Bagi mu’taddah mutawaffa ‘anha zaujuha dan wanita yang tertalak ba’in wajib menetap di dalam rumah.
Maksudnya rumah yang menjadi tempat terjadinya perpisahan antara dia dengan suaminya, jika rumah itu layak baginya.
Bagi suami dan yang lain tidak diperkenankan mengeluarkan wanita tersebut dari rumah tempat terjadinya perpisahan.
Begitu juga bagi wanita tersebut tidak diperkenankan keluar dari sana walaupun sang suami rela.
Kecuali karena ada hajat, maka bagi dia diperkenankan keluar rumah.
Seperti ia keluar di siang hari karena untuk membeli makanan, kain katun, menjual tenunan atau kapas dan sesamanya.
Bagi wanita tersebut diperkenankan keluar malam ke rumah tetangga perempuannya karena untuk menenun, ngobrol dan sesamanya dengan syarat pulang dan bermalam di rumahnya sendiri.
Bagi dia juga diperkenankan keluar ketika khawatir pada dirinya, anaknya dan sesamanya, yaitu permasalahan-permasalahan yang disebutkan di dalam kitab-kitab yang panjang penjelasannya.