Suatu pekerjaan selalu menurut ukuran siapa yang mengerjakannya itu. Misalnya dikatakan bahwa si A melakukan khutbah, maka kita harus mengukur mutu khutbah, maka kita harus mengukur khutbahnya itu dengan kemampuan si A itu sendiri, begitu juga seandainya si B yang melakukan maka kita pun mengukurnya dengan kemampuan si B sendiri. Kalau dikatakan si Fulan memikul suatu beban, maka kita mengerti bahwa dia mempunyai kemampuan untuk memikulnya itu. Jadi bentuk, model dan kualitas suatu pekerjaan itu selalu diukur dengan siapa orang yang mengerjakannya itu dan tidak boleh membuat ukuran yang lain. Mengapa Allah mengatakan, “Subhaana al ladzii asraa bi ‘abdihii….”. (Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hambanya pada suatu malam).
Dari ayat ini jelaslah bahwa yang “mengisra’kan” yakni yang melakukan pekerjaan ini adalah Allah. Dia bertindak sebagai subyek, sedangkan Nabi Muhammad SAW. sebagai obyek. Jadi pekerjaan “mengisra’kan” ini pun harus diukur dengan kriteria yang berlaku untuk Allah serta jangan diukur dengan kriteria yang berlaku bagi Muhammad, karena dia tidak mengatakan: “Aku telah melakukan perjalanan malam (berisra’ dengan sendiriku)…”, dan jangan pula anda mengatakan seperti apa yang dikatakan orang-orang kafir: “Mana mungkin perjalanan yang biasa kami tempuh selama satu bulan dengan naik unta, kamu tempuh dalam waktu semalam ?”. Itulah di antara yang dikatakan orang-orang kafir itu. Siapakah gerangan yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad berkata bahwasanya dia yang melakukan pekerjaan tersebut?. Ini adalah perkataan yang diada-adakan atau dibuat-buat saja oleh orang kafir di mana mereka menuduh atau menganggap Nabi Muhammad SAW. “menempuh perjalanan malam itu dengan sendirinya”. Jadi mengembalikan atau membandingkan pekerjaan Isra’ ini kepada kemampuan Nabi Muhammad SAW. adalah tidak benar. Kalau hendak mengukur kualitas pekerjaan “mengisra’kan” ini hendaklah diukur dengan kemampuan Allah, karena Dia-lah yang melakukannya. Jadi dalam peristiwa Isra’ itu Nabi Muhammad dibawa oleh suatu kekuatan yang di luar kekuatan atau kemampuan dirinya sendiri, yakni kekuatan yang tak dapat diukur dengan apapun juga. Kalau saya mengatakan bahwa saya telah membawa anak saya yang masih menyusu naik ke puncak gunung Himalaya, maka apakah wajar kalau ada orang bertanya, “Bagaimana anakmu yang masih sarat menyusu itu naik ke puncak Himalaya ?”. Tidak, tidak akan ada orang yang bertanya begitu. kalau ada orang yang bertanya begitu berarti akalnya rusak (tidak normal), dan orang cuma akan bertanya, “Bagaimana anda bisa naik ke sana…. ?”
Kalau yang bertanya : “Bagaimana Muhammad bisa melakukan perjalanan sejauh itu dalam waktu satu malam ?”, maka pertanyaan ini sama dengan pertanyaan orang kepada saya. “Bagaimana anakmu yang masih sarat menyusu itu dapat naik ke puncak Himalaya ?” Ini berarti orang tersebut mengembalikan perbuatan itu kepada Nabi Muhammad, bukan kepada Allah, padahal yang mengisra’kan itu adalah Allah, perbuatan itu adalah dari Allah dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku bagi Allah sendiri tanpa disertai qanunul-basyari (kriterium yang berlaku untuk manusia) sama sekali. Mengapa?. Karena semua aktifitas itu berbeda-beda menurut kemampuan pelakunya. Misalnya orang berpergian naik mobil dari satu tempat ke tempat lain pasti berbeda dengan orang yang naik kapal terbang atau roket (mungkin ada alat yang lebih cepat lagi). Karena itu maka ukuran waktunya pun tidak bisa terlepas dari aktifitas dan kemampuan pelakunya. Apabila peristiwa Isra’ itu dari Allah dimana Dia yang MENGISRA’KAN dan Nabi Muhammad yang DIISRA’KAN, maka pada saat itu Muhammad berada di bawah undang-undang atau ketentuan di luar jangkauan kemampuan manusia yakni kekuatan Tuhannya yang membimbingnya. Kalau lamanya suatu perjalan itu diukur dengan kecepatannya dengan perbandingan berbalik, yakni “Apabila kekuatan (kecepatan) bertambah tinggi, maka waktu yang diperlukan semakin sedikit (singkat),” sedangkan kekuatan yang MENGISRA’KAN Nabi Muhammad adalah kekuatan Allah yang di luar ukuran kekuatan, kecepatan, dan kemampuan macam apapun juaga, maka peristiwa Isra’ Mi’raj itu tak dapat diukur dengan waktu, yakni tidak terikat oleh waktu sama sekali.
Mungkin ada orang yang bertanya kepada anda “Kalau peristiwa Isra’ itu tidak terikat oleh waktu beberapa lama pada suatu malam ?”. Maka kita jawab bahwa dalam hal ini terdapat perbedaan antara peristiwa Isra’ (memperjalankan) itu sendiri dengan pemandangan-pemandangan yang ditampakkan kepada Rasulullah SAW. Maka ketika ditampakkan kepada beliau beberapa macam pemandangan, beliau melihatnya dengan manusiawinya dan dengan qarun manusiawinya (ketentuan yang berlaku bagi manusia umumnya). Menyaksikan pemandangan-pemandangan itulah yang memerlukan waktu, adapun melesatnya Rasulullah SAW. itu sendiri tidak memerlukan waktu karena beliau berada dalamsuatu undang-undang (qanun) yang tidak terikat oleh waktu. Oleh karena itu maka orang-orang yang membantah Rasulullah SAW. mengenai peristiwa Isra’ dengan membandingkannya dengan perjalanan dan aktifitas yang mereka lakukan atau yang dilakukan oleh umumnya manusia, adalah jauh panggang dari api dan sudah menyimpang dari pokok masalah di mata yang menjadi pokok masalah adalah Qanun Ilahi sedangkan mereka membantahnya dengan Qanun Basyari…