Dalam bah riba di kitab Fathul Qorib hanya dibahas tentang riba fadhal atau riba jual beli. Sedangkan riba nasi’ah atau riba hitung piutang tidak dibahas. Hukum Riba jual beli adalah halal dengan syarat tertentu. Di laman ini juga dibahas tentang hawalah yaitu pengalihan hutang dari seorang ke orang lain.
Nama kitab: Terjemah Kitab Fathul Qorib
Judul kitab asal: Fathul Qarib Al-Mujib fi Syarhi Alfazh Al-Taqrib atau Al-Qawl Al-Mukhtar fi Syarh Ghayatil Ikhtishar (فتح القريب المجيب في شرح ألفاظ التقريب أو القول المختار في شرح غاية الإختصار)
Pengarang: Abu Abdillah Muhammad bin Qasim bin Muhammad Al-Ghazi ibn Al-Gharabili
Penerjemah:
Bidang studi: Fiqih madzhab Syafi’i
Daftar Isi
Bab Riba
- Pengertian Riba
- Syarat Bolehnya Jual Beli Benda Riba
- Syarat Jual Emas dengan Perak
Bab Hawalah (Pengalihan Hutang)
- Pengertian Hawalah
- Syarat dan Ketentuan Hawalah
- Konsekuwensi Hawalah
Kembali ke: Terjemah Kitab Fathul Qorib

- Pengertian Riba
(Pasal) menjelaskan riba. Lafadz “riba” dengan menggunakan alif maqshurah.
-riba- secara bahasa bermakna tambahan. Dan secara syara’ adalah menukar ‘iwadl / sesuatu dengan sesuatu yang lain yang tidak diketahui kesetaraannya di dalam ukuran syar’i ketika akad, atau dengan menunda penyerahan kedua barang yang ditukar atau salah satunya.
Akad riba hukumnya haram.
Akad riba hanya terjadi pada emas, perak dan makanan.
-yang di maksud dengan- makanan adalah benda-benda yang biasanya ditujukan untuk makanan guna penguat badan (makanan pokok), camilan, atau obat-obatan. Dan riba tidak terjadi pada selain barang-barang tersebut.
- Syarat Bolehnya Jual Beli Benda Riba
Tidak boleh menjual emas dengan emas, dan menjual perak begitu juga dengan perak, keduanya sudah dicetak ataupun belum, kecuali ukurannya sama.
Maka tidak sah menjual sesuatu dari barang tersebut dengan ukuran yang berbeda.
Ungkapan mushannif “naqdan” maksudnya adalah serah terima secara langsung.
Sehingga, kalau sesuatu dari barang tersebut dijual dengan cara tempo, maka hukumnya tidak sah.
Tidak sah menjual barang yang telah dibeli oleh seseorang kecuali ia telah menerimanya, baik ia jual lagi kepada penjual barang tersebut atau pada yang lainnya.
Tidak boleh menjual daging yang dibeli dengan binatang.
Baik daging dari jenis binatang tersebut seperti menjual daging kambing dibeli dengan kambing, atau dari selain jenis binatang tersebut akan tetapi masih dari dagingnya binatang yang halal dimakan seperti menjual daging sapi dibeli dengan satu ekor kambing.
- Syarat Jual Emas dengan Perak
Diperbolehkan menjual emas dibeli dengan perak dengan ukuran berbeda, akan tetapi harus kontan, maksudnya seketika diterima sebelum berpisah.
Begitu juga makanan, tidak boleh menjual satu jenis makanan dibeli dengan jenis makanan yang sama kecuali dengan ukuran yang sama dan kontan, maksudnya diterima seketika sebelum berpisah.
Dan boleh menjual satu jenis makanan dibeli dengan jenis makanan yang lain dengan ukuran berbeda, akan tetapi harus kontan, maksudnya diterima seketika sebelum berpisah.
Sehingga, kalau kedua orang yang melakukan transaksi berpisah sebelum menerima semua barangnya, maka hukum akadnya batal. Atau setelah menerima sebagiannya saja, maka dalam permasalahan ini terdapat dua pendapat tentang tafriqus shufqah[1] (memisah akad).
Tidak boleh melakukan transaksi yang mengandung unsur tidak jelas / penipuan, seperti menjual salah satu budak dari burak-budaknya -tanpa ditentukan yang mana-, atau menjual burung yang sedang terbang di angkasa.
Tambahan
Riba dalam kitab ini hanya menjelaskan tentang jenis benda-benda riba yang hanya boleh dijual dengan sesamanya dengan syarat-syarat tertentu. Riba jenis ini disebut dengan riba fadhal. Adapun riba yang lain adalah riba nasi’ah atau disebut juga riba hutang piutang adalah kelebihan (bunga) yang dikenakan pada orang yang berhutang oleh yang menghutangi pada awal transaksi atau karena penundaan pembayaran hutang.
- Pengertian Hawalah
(Pasal) menjelaskan hawalah. Lafadz “al hawalah” dengan terbaca fathah huruf ha’nya. Dan ada yang menghikayahkan pembacaan kasrah pada huruf ha’nya.
Hawalah secara bahasa adalah pindah. Dan secara syara’ adalah memindah hak dari tanggungan muhil (yang memindah hutang) kepada tanggungan muhal ‘alaih (yang menerima tanggungan peralihan hutang).
- Syarat-Syarat Hawalah
Syarat akad hawalah ada empat.
Yang pertama adalah kerelaan muhil. Muhil adalah orang yang mempunyai tanggungan hutang.
Bukan muhal ‘alaih, karena sesungguhnya tidak disyaratkan ada kerelaan darinya menurut pendapat al ashah.
Hawalah tidak sah pada orang yang tidak memiliki hutang.
Yang kedua adalah penerimaan dari pihak muhtal. Muhtal adalah orang yang mempunyai hak berupa hutang yang menjadi tanggungan muhil.
Yang ke tiga, keberadaan hutang yang dialihkan sudah berstatus menetap pada tanggungan.
Memberi qayyid “telah menetap” sesuai dengan apa yang disampaikan oleh imam ar Rafi’i.
Akan tetapi imam an Nawawi menentang pendapat tersebut di dalam kitab ar Raudlah.
Kalau demikian, maka yang dipertimbangkan di dalam hutang akad hawalah adalah harus sudah lazim (menetap) atau hendak lazim.
Yang ke empat adalah cocoknya hutang yang berada pada tanggungan muhil dan muhal ‘alaih di dalam jenis, ukuran, macam, kontan, tempo, utuh dan pecahnya.
- Konsekuwensi Hawalah
Dengan akad hiwalah, muhil sudah bebas dari tanggungan hutang kepada muhtal.
Muhal ‘alaih juga bebas dari tanggugan hutang kepada muhil.
Hak milik muhtal berpindah menjadi tanggungan muhal ‘alaih.
Sehingga, seandainya sulit mengambilnya dari muhal ‘alaih sebab bangkrut, memungkiri hutang dan sesamanya, maka muhtal tidak boleh menagih kepada muhil.
Seandainya muhal ‘alaih dalam keadaan bangkrut saat terjadi akad hawalah dan muhtal tidak mengetahuinya, maka dia juga tidak diperkenankan menagih kepada muhil.